Yang Menderita yang Bertendens

Yang Menderita yang Bertendens

By klubbukusctv

Mendedah novel abad 19 adalah sebentuk upaya licin, pada mulanya, guna mengumpulkan serpihan penafsiran. Dari sini konteks dan relevansi bisa dibayangkan untuk lalu dibenturkan pada isi dan bentuk novel. Inilah yang terjadi dalam seri diskusi Klub Buku dan Film SCTV, 21 Agustus lalu, di ruang rapat redaksi Liputan 6 SCTV, yang membahas novel Victor Hugo, Les Miserables (Yang Menderita).

“Ini novel yang membingungkan, menghanyutkan, dan menggetarkan, “ kata Miko Toro yang hari itu mendapat giliran sebagai pendedah. Hadir Leanika Tanjung, Eko Wahyu, Billy Soemawisastra, Henry Sianipar, Aryo Ardi, Dwi Nindyas, Mauluddin Anwar, Moh. Samsul Arifin, Geong Rusdianto, Slamet Widodo, dan Iskandar Siahaan.

Novel yang ditulis Hugo ketika usianya sudah agak lanjut (60 tahun) ini, pertama kali terbit pada 1862 tapi dalam waktu bersamaan juga diterbitkan dalam sembilan bahasa di luar bahasa Prancis sebagai bahasa ibu Hugo. Bercerita tentang transformasi seorang tokoh bernama Jean Valjean yang terpaksa mencuri sepotong roti demi membebaskan tujuh keponakannya dari ancaman kelaparan, novel ini memang mudah jatuh ke genre melodrama.

“Dalam perjalanan membaca novel ini, saya sering ngedumel,” kata Miko. Karakter tokohnya digambarkan terlalu berlebihan. Selain tokoh Jean yang bertaransformasi dari “jahat” menjadi baik, tokoh inspektur polisi Javert dan anak kecil bernama Gavroche digambarkan tidak realistis. “Tapi mungkin seperti itulah romantisme abad 19 ketika Huga hidup,” tambah Miko.

Henry Sianipar yang jujur mengaku belum membaca novel ini juga merasakan hal sama ketika dulu mukim di London ia menonton drama yang naskahnya bertolak dari novel ini. “Dramatisasinya berlebihan,” ujarnya. Cara yang dipilih Hugo, dalam pandangan Slamet Widodo, sebenarnya lazim dalam sebuah novel yang bertendens. Hugo ingin bercerita tentang sifat baik dan buruk manusia. “Dramatisasi atau penggambaran yang berlebihan itu memang sengaja dipilih Hugo untuk memudahkan dirinya menyampaikan pesan yang bemuatan nilai itu,” tambah Slamet.

Di mata Mauluddin Anwar, seperti juga Leanika Tanjung, keberhasilan Hugo dalam novel adalah kemampuannya menggambarkan pergolakan batin manusia dengan diksi yang tepat. “Latar sosial Prancis ketika itu juga berhasil digambarkan secara baik oleh Hugo,” kata Awan – sebutan akrab Mauluddin Anwar. “Kaya ini bagus karena ia juga mampu menggambarkan manusia apa adanya,” kata Leanika.

“Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan teman-teman,” Moh Samsul Arifin menukas. Bagi Samsul, keberhasilan sebuah karya sastra adalah ketika ia berhasil mengeksplorasi bahasa secara penuh dan otentik. “Terus terang, saya kehilangan selera melanjutkan membaca karya ini ketika baru tiba di halaman pertama,” kata Samsul. “Kalimat pertama awal novel ini tidak menarik,”tambahnya.

Ini memang bukan kali pertama diskusi buku dan film melahirkan dua pendapat yang ekstrem berbeda. Di satu pihak ada yang memuja, tapi di lain pihak ada yang ekstrem mengecam. Seolah hendak memberi latar perbedaan ini, Eko Wahyu mengatakan dalam setiap pembacaan atas karya sastra, termasuk novel, masing-masing orang sebenarnya mencoba mengambil sendiri-sendiri nilai moralnya.

Soal nilai inilah yang paling kentara pada Geong Rusdianto. “Saya melihat Hugo menulis novel ini dengan kesadaran yang tinggi untuk menyampaikan sebuah ideologi”, kata Geong. Prancis abad 19, juga banyak negara di Eropa Barat, adalah masa penuh gejolak sosial. Kemiskinan dan kesenjangan sosial merajalela. Hugo, menurut Geong, menulis novel ini karena prihatin melihat sekelilingnya dan sekaligus ingin menuntut pemerintah menjalankan tanggungjawabnya memberi makan rakyatnya.

Itulah sebabnya Miko dan Leanika percaya bahwa novel Hugo ini masih relevan dengan masyarakat kita kini. Konteks Prancil abad 19 dan Indonesia kini sebenarnya tidak jauh berbeda. “Bahkan, menurut saya, para pecinta sastra dan pecinta kemanusiaan wajib membaca novel ini,” kata Miko yang lantas bermurah hati memberi rating novel ini dengan lima bintang.

0 Responses to "Yang Menderita yang Bertendens"

Posting Komentar