Koleksi Foto Sahabatku


DRAJAT ANDIK A.


THE TRIPLE

Foto bersama Pak Agus



Cowok Cakep 2009


SIAPA YANG PALING KEREN?.......................??????

FPI: Hitam, Putih atawa…

FPI: Hitam, Putih atawa…

By klubbukusctv

fpi

Moh Samsul Arifin

Judul Buku: Hitam Putih FPI
Penulis: Andri Rosadi
Penerbit: Nun Publisher, Jakarta
Cetakan: Juli 2008
Tebal: 237 Halaman

Indonesia pasca-Soeharto tak bisa dilepaskan dari kiprah Front Pembela Islam (FPI) di layar publik. Tapi, citra organisasi masyarakat yang dipimpin Habib Rizieq Shihab itu berselimut jelaga hitam. Publik mengidentikkannya dengan kekerasan. Fakta-fakta aksi kekerasan itu begitu mudah dideretkan, tak lebih sulit dari menata papan catur.

Sebutlah penutupan bandar judi, penyerangan ke kantor Majalah Playboy, penutupan kampus Ahmadiyah di Parung, perusakan Kedubes AS, hingga yang paling anyar kerusuhan di Monas Jakarta, 1 Juni lalu.

Dalam aksinya, FPI bertindak bak aparat penegak hukum. Merazia bandar judi, lokalisasi atau menangkal kemaksiatan dan pornografi dilakoninya dengan menabrak tatanan hukum positif yang berlaku di ruang publik. Saat anggota atau Laskar FPI melakukan itu semua, kalangan pengkritiknya menilai sesungguhnya FPI telah menggantikan peran kepolisian –institusi yang otoritatif menegakkan hukum di tanah air. Sisi gelap ini menempatkan FPI sebagai ormas yang tidak toleran, dan menerbitkan ketakutan, bukan hanya pada sasaran-sasaran aksi mereka, tapi juga publik luas.

Buku Hitam Putih FPI ini ingin keluar dari stereotipe atau pelabelan yang menguras sisi gelap saja. Penulisnya, Andri Rosadi –jebolan Al Azhar Kairo, Mesir– memberanikan diri menyingkap FPI dari dekat,
langsung dari markas pusatnya di Petamburan, Jakarta. Dengan terjun ke markasnya dan terlibat intensif di pengajian-pengajian FPI serta mewawancarai pengikut, anggota, dan petinggi FPI, termasuk Habib Rizieq Shihab, Andri Rosadi menyediakan diri untuk menerima sisi hitam dan sekaligus sisi putih ormas berlambang ”dua pedang” ini.

Studi S-2 Andri Rosadi di UGM Jogjakarta ini mengisi kekosongan literatur mengenai FPI, apalagi menggunakan pendekatan antropologi. Kajian antropoligis ini penting karena kurangnya studi-studi kasus tentang komunitas muslim radikal secara partikular. Adapun datanya diambil lewat observasi partisipasi dan wawancara mendalam.

Kemunculan FPI pada 17 Agustus 1998 tak lepas dari lemahnya negara yang tidak mampu lagi menjalankan sebagian fungsinya seperti regulasi dan penegakan hukum. Ini menerbitkan kekecewaan di kalangan
masyarakat, yang disikapi dengan munculnya kelompok-kelompok independen semacam FPI yang berinisiatif menegakkan hukum menurut cara, pemahaman, dan kepentingan mereka (hlm. 134). Dengan demikian, FPI hanyalah reaksi dari merosotnya wibawa negara yang di zaman Orde Baru begitu kuat di hadapan masyarakat sipil. Begitu pula kehadiran FPI tak lantas memperkuat masyarakat sipil karena hakikatnya FPI memerosotkan citra keadaban yang seyogianya dijunjung tinggi unsur-unsur masyarakat sipil.

FPI membawa misi Islam sebagai solusi dan menempatkan amar makruf nahi munkar (menyeru pada yang baik dan mencegah kemungkaran) sebagaigagasan utama. Ini dikonkretkan dengan desakan untuk memberlakukan syariat Islam di Indonesia, sesuatu yang menghubungkannya dengan perjuangan Piagam Jakarta. Berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia, FPI sebetulnya tak bermaksud mengubur hukum positif (warisan Belanda).

Tak pelak saat menyaksikan realitas sosial tak sesuai dengan nilai-nilai moral agama, FPI beraksi. Apa yang dilakukan FPI merupakan simbol dari ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan refleksi dari krisis moral di
masyarakat. Dapat dimaklumi jika dalam aksi-aksinya FPI selalu konfrontatif –seolah-olah negara (baca: alat-alat negara) mati ketika mereka bergerak. Persoalannya, bagaimana menerjang hukum positif yang
menjadi common platform kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Namun, menurut Andri Rosadi, apa yang dilakukan FPI bukan hanya aksi-reaksi semata. Sebab, sikap dan perilaku mereka juga dibimbing teks –dalam hal ini ayat-ayat yang menyeru pada amar makruf nahi
munkar. Sebagai majoritas kaum Sunni di tanah air, FPI juga menganut mazhab Syafii –sebuah mazhab yang menempatkan teks dan akal secara seimbang. Dalam sejarahnya, penganut Syafii selalu menjaga nuansa moderat dalam menilai dan menghukumi sesuatu. Hanya, dalam hal tertentu, pola keberagamaan pengikut FPI yang dibentuk Habib Rizieq terpengaruh Islam Petro (Wahabisme) yang berhulu di Arab Saudi.

Cirinya kaku, teks dominan, dan memahami akidah secara rigid, dan keras terhadap pelanggaran nilai-nilai agama (hlm. 92-93). FPI juga terpengaruh Sayyid Qutb, salah seorang ideolog Ikhwanul Muslimin.

Studi Andri Rosadi juga mendedahkan bagaimana organisasi FPI ditata dan dikelola, hubungan Habib Rizieq dengan pengikutnya, pola rekrutmen anggota hingga friksi serta intrik di tubuh FPI (hlm. 87-128). Salah satu pilar FPI justru berada pada sosok Habib Rizieq. Dia adalah sumber otoritas moral dan agama, pusat kuasa sekaligus manajer yang baik bagi organisasi.

Sejauh ini, FPI bisa bersatu di bawah Habib Rizieq yang dapat diterima kelompok-kelompok di ormas tersebut. Habib Rizieq otoritatif karena secara geneologis mengklaim punya garis keturunan Nabi Muhammad SAW.

Integritas Habib Rizieq dipandang mulia di kalangan pengikutnya. Suatu waktu, Habib Rizieq ditelepon Presiden Yudhoyono yang mengucapkan terima kasih atas kiprah anggota FPI menolong korban tsunami di Aceh. Presiden berniat memberinya Satyalencana. Tapi Habib Rizieq menolak dengan halus, dan mengusulkan agar penghargaan itu diberikan kepada 1.200 sukarelawan FPI yang berjibaku mengevakuasi 30 ribu lebih mayat di Serambi Mekkah (hlm. 121). Sisi putih FPI yang bederma pada kemanusiaan dengan menolong korban tsunami sambil meninggalkan pekerjaan serta keluarga itu kurang ditonjolkan oleh pers.

Kajian antropologis ini seharusnya menyumbang lebih banyak apabila Andri Rosadi menawarkan ”proposal” baru yang berpretensi meredam ”ideologi kekerasan” yang telanjur lekat pada FPI. Ada semacam permakluman bahwa negara lemah dan karena itu aparat negara sering absen ketika praktik kemaksiatan, kriminal, dan penodaan agama berpentas di ruang publik. Sungguh sangat disayang, ia tidak menggali sebanyak mungkin cara baru ala FPI untuk mewujudkan amar makruf nahi munkar.

Yang Menderita yang Bertendens

Yang Menderita yang Bertendens

By klubbukusctv

Mendedah novel abad 19 adalah sebentuk upaya licin, pada mulanya, guna mengumpulkan serpihan penafsiran. Dari sini konteks dan relevansi bisa dibayangkan untuk lalu dibenturkan pada isi dan bentuk novel. Inilah yang terjadi dalam seri diskusi Klub Buku dan Film SCTV, 21 Agustus lalu, di ruang rapat redaksi Liputan 6 SCTV, yang membahas novel Victor Hugo, Les Miserables (Yang Menderita).

“Ini novel yang membingungkan, menghanyutkan, dan menggetarkan, “ kata Miko Toro yang hari itu mendapat giliran sebagai pendedah. Hadir Leanika Tanjung, Eko Wahyu, Billy Soemawisastra, Henry Sianipar, Aryo Ardi, Dwi Nindyas, Mauluddin Anwar, Moh. Samsul Arifin, Geong Rusdianto, Slamet Widodo, dan Iskandar Siahaan.

Novel yang ditulis Hugo ketika usianya sudah agak lanjut (60 tahun) ini, pertama kali terbit pada 1862 tapi dalam waktu bersamaan juga diterbitkan dalam sembilan bahasa di luar bahasa Prancis sebagai bahasa ibu Hugo. Bercerita tentang transformasi seorang tokoh bernama Jean Valjean yang terpaksa mencuri sepotong roti demi membebaskan tujuh keponakannya dari ancaman kelaparan, novel ini memang mudah jatuh ke genre melodrama.

Eat, Pray, Love

Eat, Pray, Love
By klubbukusctv

Sondang Sirait

Dal centro della mia vita venne una grande Fontana…
“From the center of my life, there came a great fountain…”
—“Eat, Pray, Love” by Elizabeth Gilbert, p. 39

(taken from a poem by Louise Glück)

Penulis: Elizabeth Gilbert
Penerbit: Viking Adult, 2006

Empat bulan berada di Italia, Elizabeth Gilbert mulai menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit dari reruntuhan jiwanya: pascaperceraian dan kebangkrutan. Di Italia, Gilbert bukan turis biasa. Negeri itu baginya merupakan tempat pelarian, awal sesuatu yang baru, yang dapat menghidupkan kembali seorang perempuan usia 30-an, yang sedang kehilangan kendali hidup. Lewat pendalaman bahasa asing yang eksotis, perkenalan dengan orang-orang Eropa yang penuh kehangatan, serta piring demi piring pizza dan pasta nan lezat, penulis asal New York itu kembali menemukan alasan berdamai dengan dirinya.

Tapi tak semudah itu berdamai dengan Jiwa yang terus dirongrong Depresi dan Kesepian. Meninggalkan keramaian Italia, ia pergi mencari ketenangan India. Di sana, ia menetap sebagai murid dan pelayan sebuah ashram. Sebagai murid, ia belajar meditasi dan membangun hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Sebagai pelayan, ia bekerja bagi Guru dan sesama penghuni ashram. Di India pula, ia belajar makna ajaran kitab Bhagavad Gita, bahwa lebih baik menjalani nasib sendiri secara tidak sempurna daripada meniru hidup orang lain secara sempurna. Episode di India bagi Gilbert adalah Episode Pencerahan Spiritual.

Pencerahan inilah yang ia terjemahkan ke dalam sikap hidup yang tenang dan positif, sesuatu yang diterapkan Gilbert di Pulau Bali, melalui interaksi dengan teman-teman barunya, dan kemudian dengan Si Pria Brazil Idaman. Maka lengkap sudah perjalanannya yang memakan satu tahun. Mission accomplished.

Kisah Gilbert bukan fiksi. Ini pemberontakan pribadi, terbungkus dalam upaya eksplorasi spiritual. Walau terkesan impulsif, tapi keberaniannya perlu diacungi jempol. Dalam hidup modern yang menuntut keseragaman perspektif akan cara menggapai kebahagiaan dan kesuksesan, sungguh menyegarkan melihat masih ada orang seperti Gilbert. Petualangannya mungkin dapat membuka wawasan bagi kita, tanpa harus menjalani apa yang ia lalui.

By the way, salah satu hal yang menarik dari Gilbert adalah ide untuk selalu mencari sebuah kata yang identik dengan diri atau kota yang kita diami. Baginya, kata itu adalah antevasin, berasal dari bahasa Sansekerta, berarti “orang yang hidup di perbatasan.” Ini menjelaskan mengapa ia tak pernah nyaman dalam zona tertentu, dan selalu berusaha melakukan eksplorasi, secara fisik maupun spiritual.

Kita tak mesti setuju dengan cara Gilbert, tapi mungkin menarik untuk memikirkan apa “kata” yang cocok menggambarkan kepribadian atau identitas diri masing-masing.

*) dipresentasikan dalam pertemuan Klub Buku dan Film SCTV, 4 Desember 2008